“Untuk pekerjaan rumah
hari ini, saya ingin kalian menjawab pertanyaan di halaman dua puluh,” kata Pierre, ketika bel tanda
pelajaran usai dan para siswa mulai berdiri untuk meninggalkan kelas. Semuanya…
kecuali aku.
Aku tidak terburu-buru meninggalkan kelas Pierre. Pierre ! Tampan, gagah dan menawan. Ia sangat mempesona. Satu-satunya yang disayangkan adalah … ia dosen bahasa Perancisku. Bola matanya biru keabu-abuan karena ia masih keturunan Perancis. Tetapi ia lahir dan besar di Jakarta, sehingga bahasa Indonesianya juga baik.
“Ayo Nadia, kau tidak boleh duduk bermimpi terus disini !” temanku Susi menarik tanganku agak keras, ketika para siswa kelas berikutnya mulai memasuki ruangan. Aku menatap Pierre yang sedang membereskan buku-bukunya dan sambil mengeluh kutinggalkan ruangan itu.
“Kau gila,” kata Susi sambil memandangku tak percaya. Benar-benar gila ! Bagaimana kau bisa kesengsem padanya ?“
“Aku tidak kesengsem, aku ... jatuh cinta padanya,“ jawabku dengan dramatis.
“Tapi tidak bisa ...“ Susi menegaskan. Ia tidak mengerti.
“Tidakkah kau berpikir bahwa ia cowok paling tampan yang pernah kaulihat ?” lanjutku.
“Aduh.. Nadia !” teriak Susi perlahan. “Ia sangat jauh beda usianya denganmu !"
”Menurutku ia tidak tua,“ kataku mempertahankan diri. Tapi sangat matang dan dewasa“.
Susi menggertakkan giginya „Kau memang gila,“ katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Mengapa kuliah bahasa Perancis rasanya cuma beberapa menit sudah selesai, sedangkan mata kuliah yang lain bisa terasa berjam-jam ?
Aku tak pernah absen mengikuti kuliah bahasa Perancis. Aku selalu berusaha memperoleh tempat duduk yang paling depan sehingga bisa leluasa memandanginya.
Aku berpikir tentang Pierre yang sedang berdiri di samping papan tulis, memakai salah satu pakaian terbaiknya, setelan berwarna gelap. Selera berpakaiannya sangat baik dan ia selalu berusaha tampil gaya dan rapi.
"Kau akan hadir di klub pemuda malam ini ?“ tanya Susi pada perjalanan pulang.
"Kelihatannya ya,“ kataku hampir tidak memperhatikannya. Aku lebih tertarik untuk menoleh ke pintu gerbang kampus untuk melihat apakah mobil Pierre sudah keluar.
Aku tahu bahwa Susi tidak suka dengan jawabanku yang tidak antusias, tapi aku tak dapat menghindarinya. Klub pemuda tidak memiliki daya tarik bagiku hari itu. Semua yang hadir masih terlalu muda.
Aku masih berpikir seandainya aku bisa pergi berdua saja dengan Pierre. Kami mungkin akan pergi ke sebuah restoran yang bersuasana romantis untuk makan malam. Pierre seorang yang mempesona. Ia pasti mengetahui tempat-tempat yang baik untuk mengajak seorang gadis.
Keesokan paginya, pada saat istirahat, aku berjalan mondar-mandir melewati ruang dosen sambil berharap bisa melihat Pierre.
"Ya, Nadia ?“ tegur Ibu Pamela, salah satu dosenku. „Mencari siapa ?“ tanyanya.
“Oh,.. ti …tidak Ibu, saya cuma mencari Susi. Mungkin dia ada di ruang dosen” kataku.
"Dia tidak ada disini“ kata Ibu Pamela menatapku. Mungkin para dosen itu heran dengan tingkah lakuku yang sering mondar-mandir di depan ruangan itu. Untunglah tidak seorangpun dari mereka mengetahui alasan sebenarnya.
"Bagaimana ? Apakah kau sudah bertemu si Pangeran Tampan ?“ tanya Susi, setelah bertemu denganku.
"Tidak“ jawabku dengan lesu. Cuma bertemu Ibu Pamela“.
"Kau cuma buang-buang waktu saja dengan percuma“ kata Susi.
"Tidak bagiku, Susi“ jawabku dengan bijaksana dan seakan-akan lebih dewasa darinya. „Kau kan belum pernah tahu rasanya jatuh cinta ...“
"Pernah ...“kata Susi. Dengan cowok yang kuliah di Fakultas Hukum itu ...“
"Ah ... itu kan cuma iseng-iseng saja !” kataku.
“Kau yang cuma iseng !” balasnya.
Lalu, sebelum aku sempat berpikir untuk membalas Susi, tiba-tiba Pierre muncul. Ia berjalan di koridor sambil membawa beberapa buku dengan satu tangan dan sebuah cangkir di tangan satunya. Hatiku mulai berdebar-debar dan aku takut kalau jatuh pingsan ketika ia mendekat, tapi aku berusaha menenangkan diri.
Aku menahan napas ketika melihatnya mendorong pintu ruang dosen dengan sikunya dan lalu menghilang begitu saja.
"Kau lihat, kan ? Ia bahkan tidak melirik sedikitpun padamu !“ kata Susi.
Aku berusaha menyembunyikan rasa kecewaku.
"Ya sudah ….Tidak apa-apa...“ kata Susi dengan rasa simpati. Mungkin ia merasa kasihan melihatku. "Kita kan nanti ada kuliah bahasa Perancis. Mungkin kau nanti bisa berbicara sedikit dengannya.”
Aku tidak terburu-buru meninggalkan kelas Pierre. Pierre ! Tampan, gagah dan menawan. Ia sangat mempesona. Satu-satunya yang disayangkan adalah … ia dosen bahasa Perancisku. Bola matanya biru keabu-abuan karena ia masih keturunan Perancis. Tetapi ia lahir dan besar di Jakarta, sehingga bahasa Indonesianya juga baik.
“Ayo Nadia, kau tidak boleh duduk bermimpi terus disini !” temanku Susi menarik tanganku agak keras, ketika para siswa kelas berikutnya mulai memasuki ruangan. Aku menatap Pierre yang sedang membereskan buku-bukunya dan sambil mengeluh kutinggalkan ruangan itu.
“Kau gila,” kata Susi sambil memandangku tak percaya. Benar-benar gila ! Bagaimana kau bisa kesengsem padanya ?“
“Aku tidak kesengsem, aku ... jatuh cinta padanya,“ jawabku dengan dramatis.
“Tapi tidak bisa ...“ Susi menegaskan. Ia tidak mengerti.
“Tidakkah kau berpikir bahwa ia cowok paling tampan yang pernah kaulihat ?” lanjutku.
“Aduh.. Nadia !” teriak Susi perlahan. “Ia sangat jauh beda usianya denganmu !"
”Menurutku ia tidak tua,“ kataku mempertahankan diri. Tapi sangat matang dan dewasa“.
Susi menggertakkan giginya „Kau memang gila,“ katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Mengapa kuliah bahasa Perancis rasanya cuma beberapa menit sudah selesai, sedangkan mata kuliah yang lain bisa terasa berjam-jam ?
Aku tak pernah absen mengikuti kuliah bahasa Perancis. Aku selalu berusaha memperoleh tempat duduk yang paling depan sehingga bisa leluasa memandanginya.
Aku berpikir tentang Pierre yang sedang berdiri di samping papan tulis, memakai salah satu pakaian terbaiknya, setelan berwarna gelap. Selera berpakaiannya sangat baik dan ia selalu berusaha tampil gaya dan rapi.
"Kau akan hadir di klub pemuda malam ini ?“ tanya Susi pada perjalanan pulang.
"Kelihatannya ya,“ kataku hampir tidak memperhatikannya. Aku lebih tertarik untuk menoleh ke pintu gerbang kampus untuk melihat apakah mobil Pierre sudah keluar.
Aku tahu bahwa Susi tidak suka dengan jawabanku yang tidak antusias, tapi aku tak dapat menghindarinya. Klub pemuda tidak memiliki daya tarik bagiku hari itu. Semua yang hadir masih terlalu muda.
Aku masih berpikir seandainya aku bisa pergi berdua saja dengan Pierre. Kami mungkin akan pergi ke sebuah restoran yang bersuasana romantis untuk makan malam. Pierre seorang yang mempesona. Ia pasti mengetahui tempat-tempat yang baik untuk mengajak seorang gadis.
Keesokan paginya, pada saat istirahat, aku berjalan mondar-mandir melewati ruang dosen sambil berharap bisa melihat Pierre.
"Ya, Nadia ?“ tegur Ibu Pamela, salah satu dosenku. „Mencari siapa ?“ tanyanya.
“Oh,.. ti …tidak Ibu, saya cuma mencari Susi. Mungkin dia ada di ruang dosen” kataku.
"Dia tidak ada disini“ kata Ibu Pamela menatapku. Mungkin para dosen itu heran dengan tingkah lakuku yang sering mondar-mandir di depan ruangan itu. Untunglah tidak seorangpun dari mereka mengetahui alasan sebenarnya.
"Bagaimana ? Apakah kau sudah bertemu si Pangeran Tampan ?“ tanya Susi, setelah bertemu denganku.
"Tidak“ jawabku dengan lesu. Cuma bertemu Ibu Pamela“.
"Kau cuma buang-buang waktu saja dengan percuma“ kata Susi.
"Tidak bagiku, Susi“ jawabku dengan bijaksana dan seakan-akan lebih dewasa darinya. „Kau kan belum pernah tahu rasanya jatuh cinta ...“
"Pernah ...“kata Susi. Dengan cowok yang kuliah di Fakultas Hukum itu ...“
"Ah ... itu kan cuma iseng-iseng saja !” kataku.
“Kau yang cuma iseng !” balasnya.
Lalu, sebelum aku sempat berpikir untuk membalas Susi, tiba-tiba Pierre muncul. Ia berjalan di koridor sambil membawa beberapa buku dengan satu tangan dan sebuah cangkir di tangan satunya. Hatiku mulai berdebar-debar dan aku takut kalau jatuh pingsan ketika ia mendekat, tapi aku berusaha menenangkan diri.
Aku menahan napas ketika melihatnya mendorong pintu ruang dosen dengan sikunya dan lalu menghilang begitu saja.
"Kau lihat, kan ? Ia bahkan tidak melirik sedikitpun padamu !“ kata Susi.
Aku berusaha menyembunyikan rasa kecewaku.
"Ya sudah ….Tidak apa-apa...“ kata Susi dengan rasa simpati. Mungkin ia merasa kasihan melihatku. "Kita kan nanti ada kuliah bahasa Perancis. Mungkin kau nanti bisa berbicara sedikit dengannya.”
Aku menghitung-hitung waktu
yang terasa lambat sekali, sampai akhirnya bel berbunyi. Aku segera berlari ke
ruang kuliah bahasa Perancis dan duduk disana sebelum semua mahasiswa yang lain
datang.
Pierre melihat kearahku dan memberiku senyumannya yang fantastis, senyuman yang bisa menggetarkan urat syarafku.
“Wah, Nadia, kau pasti sudah siap dengan ringkasan Bab 7 yang kuminta bukan ?” tanyanya dalam bahasa Perancis.
“Oh… Oui, Monsieur” jawabku tergagap. Ringkasan ? Aku tidak suka dengan ringkasan. Tak tahukah dia bahwa dialah yang membuatku begitu bersemangat ?
Pierre melihat kearahku dan memberiku senyumannya yang fantastis, senyuman yang bisa menggetarkan urat syarafku.
“Wah, Nadia, kau pasti sudah siap dengan ringkasan Bab 7 yang kuminta bukan ?” tanyanya dalam bahasa Perancis.
“Oh… Oui, Monsieur” jawabku tergagap. Ringkasan ? Aku tidak suka dengan ringkasan. Tak tahukah dia bahwa dialah yang membuatku begitu bersemangat ?
Tak seperti orang lain, aku
tidak menyukai hari Jum’at dan menyukai hari Senin. Akhir pekan menjadi
hari-hari yang panjang sejak aku jatuh cinta pada Pierre, karena itu berarti aku
tak dapat bertemu dengannya selama 2 hari.
Oleh karenanya, aku berusaha untuk menikmati saat-saat kuliah bahasa Perancis pada hari Jum’at dan memuaskan diriku untuk memandanginya agar aku bisa mengingatnya selama akhir pekan. Meskipun demikian rasa kehilangan selalu timbul bila bel berdering menandakan kuliah selesai dan Pierre meninggalkan kelas kami.
"Besok mau ikut ke mal tidak ?“ tanya Susi, ketika kami berpisah didepan rumahnya.
"Baiklah,“ kataku, merasa sedikit gembira. Aku ingin membeli sehelai kemeja untuk dipakai kuliah. Kemeja yang sedikit modis, dan berharap agar Pierre akan memperhatikanku.
Oleh karenanya, aku berusaha untuk menikmati saat-saat kuliah bahasa Perancis pada hari Jum’at dan memuaskan diriku untuk memandanginya agar aku bisa mengingatnya selama akhir pekan. Meskipun demikian rasa kehilangan selalu timbul bila bel berdering menandakan kuliah selesai dan Pierre meninggalkan kelas kami.
"Besok mau ikut ke mal tidak ?“ tanya Susi, ketika kami berpisah didepan rumahnya.
"Baiklah,“ kataku, merasa sedikit gembira. Aku ingin membeli sehelai kemeja untuk dipakai kuliah. Kemeja yang sedikit modis, dan berharap agar Pierre akan memperhatikanku.
Aku dan Susi pergi
berbelanja di sebuah toko pakaian keesokan harinya. Kami memandangi pakaian
yang cantik-cantik modelnya serta berharap suatu hari memiliki cukup uang untuk
membeli apa saja yang kami suka. Aku membeli sebuah kemeja dengan model
mutakhir. Pada saat kami keluar dari mal itu, Susi mencengkeram lenganku.
"Eh, Nadia, lihat itu !“ katanya menunjuk ke sebuah mobil putih yang diparkir didepan pasar swalayan. Jantungku tiba-tiba berdebar. Itu mobil Pierre !
"Cepat, ayo kita kesana !“ kataku dengan bersemangat. Kemungkinan bertemu dengan Pierre diluar jam kuliah tampaknya akan menjadi kenyataan. Kami menunggu disamping mobilnya dan tak lama kemudian keluarlah ia dari pasar swalayan itu.
"Bonjour, Nona-nona cantik ! Senang sekali bisa bertemu kalian disini ! Apa kalian sedang menjaga mobilku atau cuma kebetulan saja ?“
Kami berdua memandanginya sekali dan sekali lagi. Aku pertama-tama tidak yakin apakah itu Pierre.
Ia kelihatan berbeda sekali dengan di kampus. Penampilannya yang selalu rapi dan keren itu tak tampak sama sekali. Ia memakai celana baggy bertali dan T shirt yang lusuh. Aku tak percaya bahwa ini Pierre-ku, yang selalu terlihat rapi dan keren.
"Eh, Nadia, lihat itu !“ katanya menunjuk ke sebuah mobil putih yang diparkir didepan pasar swalayan. Jantungku tiba-tiba berdebar. Itu mobil Pierre !
"Cepat, ayo kita kesana !“ kataku dengan bersemangat. Kemungkinan bertemu dengan Pierre diluar jam kuliah tampaknya akan menjadi kenyataan. Kami menunggu disamping mobilnya dan tak lama kemudian keluarlah ia dari pasar swalayan itu.
"Bonjour, Nona-nona cantik ! Senang sekali bisa bertemu kalian disini ! Apa kalian sedang menjaga mobilku atau cuma kebetulan saja ?“
Kami berdua memandanginya sekali dan sekali lagi. Aku pertama-tama tidak yakin apakah itu Pierre.
Ia kelihatan berbeda sekali dengan di kampus. Penampilannya yang selalu rapi dan keren itu tak tampak sama sekali. Ia memakai celana baggy bertali dan T shirt yang lusuh. Aku tak percaya bahwa ini Pierre-ku, yang selalu terlihat rapi dan keren.
Ia membuka pintu mobilnya
dan memasukkan dus karton yang dibawanya ke tempat duduk belakang. Ia berdiri
dekat sekali denganku sehingga aku dapat melihat setiap garis diwajahnya. Tapi
tak seperti kalau bertemu dan melihatnya di kampus, kali ini aku merasa kecewa.
"Baiklah, sampai bertemu hari Senin, Au revoir !“ kata Pierre, lalu ia masuk ke mobilnya.
"Ya, Pak Au revoir !“ kata Susi, ketika aku hanya berdiri terdiam.
Aku hanya memandang saat mobilnya yang putih meninggalkan kami, tanpa bisa berkata apapun.
"Baiklah, sampai bertemu hari Senin, Au revoir !“ kata Pierre, lalu ia masuk ke mobilnya.
"Ya, Pak Au revoir !“ kata Susi, ketika aku hanya berdiri terdiam.
Aku hanya memandang saat mobilnya yang putih meninggalkan kami, tanpa bisa berkata apapun.
"Oh, Nadia ... aku tak
menyangka...“ kata Susi dengan terheran-heran.
"Ia ... ia terlihat ..."
"Kumal sekali“ kata Susi. Rambutnya berantakan, kurasa ia tidak menyisir rambut hari ini. Dan pakaiannya ya ampuun……!”
Aku masih tak percaya dengan apa yang kulihat. Penampilan Pierre berbeda sekali dengan di kampus. Aku terkejut melihat garis-garis di sekitar mata dan mulutnya. Garis-garis ? Bukan .. !! Itu keriput. Pierre terlihat tua, ia sudah tua ! Aku selalu menganggapnya masih berusia 30 an. Tapi sekarang aku harus menghadapi kenyataan bahwa sesungguhnya ia jauh lebih tua dari itu.
Aku telah melihat Pierre yang sesungguhnya, tanpa pakaiannya yang rapi dan penampilannya yang keren seperti di kampus. Aku telah melihat dirinya yang sebenarnya dan tiba-tiba kusadari bahwa aku tidak mencintai Pierre seperti apa adanya. Aku cuma menyukai penampilannya saat di kampus, tapi ....diluar itu tidak.
"Ia ... ia terlihat ..."
"Kumal sekali“ kata Susi. Rambutnya berantakan, kurasa ia tidak menyisir rambut hari ini. Dan pakaiannya ya ampuun……!”
Aku masih tak percaya dengan apa yang kulihat. Penampilan Pierre berbeda sekali dengan di kampus. Aku terkejut melihat garis-garis di sekitar mata dan mulutnya. Garis-garis ? Bukan .. !! Itu keriput. Pierre terlihat tua, ia sudah tua ! Aku selalu menganggapnya masih berusia 30 an. Tapi sekarang aku harus menghadapi kenyataan bahwa sesungguhnya ia jauh lebih tua dari itu.
Aku telah melihat Pierre yang sesungguhnya, tanpa pakaiannya yang rapi dan penampilannya yang keren seperti di kampus. Aku telah melihat dirinya yang sebenarnya dan tiba-tiba kusadari bahwa aku tidak mencintai Pierre seperti apa adanya. Aku cuma menyukai penampilannya saat di kampus, tapi ....diluar itu tidak.
„Kau tidak benar-benar
jatuh cinta padanya, kan ?“ tanya Susi.
“Tidak…Susi” kataku. “Aku ... aku tidak mencintainya …”
“Tidak…Susi” kataku. “Aku ... aku tidak mencintainya …”
Terjemahan :
Oui :
Ya
Monsieur :
Bapak/Tuan (sebutan bagi pria dalam bahasa Perancis)
Bonjour : Selamat pagi / siang
Au revoir : Sampai jumpa lagi