Saturday, November 14, 2009

OH...DOSENKU...



“Untuk pekerjaan rumah hari ini, saya ingin kalian menjawab pertanyaan di halaman dua puluh,” kata Pierre, ketika bel tanda pelajaran usai dan para siswa mulai berdiri untuk meninggalkan kelas. Semuanya… kecuali aku.
Aku tidak terburu-buru meninggalkan kelas Pierre. Pierre ! Tampan, gagah dan menawan. Ia sangat mempesona. Satu-satunya yang disayangkan adalah … ia dosen bahasa Perancisku. Bola matanya biru keabu-abuan karena ia masih keturunan Perancis. Tetapi ia lahir dan besar di Jakarta, sehingga bahasa Indonesianya juga baik.
“Ayo Nadia, kau tidak boleh duduk bermimpi terus disini !” temanku Susi menarik tanganku agak keras, ketika para siswa kelas berikutnya mulai memasuki ruangan. Aku menatap Pierre yang sedang membereskan buku-bukunya dan sambil mengeluh kutinggalkan ruangan itu.
“Kau gila,” kata Susi sambil memandangku tak percaya. Benar-benar gila ! Bagaimana kau bisa kesengsem padanya ?“
Aku tidak kesengsem, aku ... jatuh cinta padanya,“ jawabku dengan dramatis. 
Tapi tidak bisa ...“ Susi menegaskan. Ia tidak mengerti.
“Tidakkah kau berpikir bahwa ia cowok paling tampan yang pernah kaulihat ?” lanjutku.
“Aduh.. Nadia !” teriak Susi perlahan. “Ia sangat jauh beda usianya  denganmu !"
”Menurutku ia tidak tua,“ kataku mempertahankan diri. Tapi sangat matang dan dewasa“.
Susi menggertakkan giginya „Kau memang gila,“ katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Mengapa kuliah bahasa Perancis rasanya cuma beberapa menit sudah selesai, sedangkan mata kuliah yang lain bisa terasa berjam-jam ?
Aku tak pernah absen mengikuti kuliah bahasa Perancis. Aku selalu berusaha memperoleh tempat duduk yang paling depan sehingga bisa leluasa memandanginya.
Aku berpikir tentang Pierre yang sedang berdiri di samping papan tulis, memakai salah satu pakaian terbaiknya, setelan berwarna gelap. Selera berpakaiannya sangat baik dan ia selalu berusaha tampil gaya dan rapi.
"Kau akan hadir di klub pemuda malam ini ?“ tanya Susi pada perjalanan pulang.
"Kelihatannya ya,“ kataku hampir tidak memperhatikannya. Aku lebih tertarik untuk menoleh ke pintu gerbang kampus untuk melihat apakah mobil Pierre sudah keluar.
Aku tahu bahwa Susi tidak suka dengan jawabanku yang tidak antusias, tapi aku tak dapat menghindarinya. Klub pemuda tidak memiliki daya tarik bagiku hari itu. Semua yang hadir masih terlalu muda. 
Aku masih berpikir seandainya aku bisa pergi berdua saja dengan Pierre. Kami mungkin akan pergi ke sebuah restoran yang bersuasana romantis untuk makan malam. Pierre seorang yang mempesona. Ia pasti mengetahui tempat-tempat yang baik untuk mengajak seorang gadis.

Keesokan paginya, pada saat istirahat, aku berjalan mondar-mandir melewati ruang dosen sambil berharap bisa melihat Pierre.
"Ya, Nadia ?“ tegur Ibu Pamela, salah satu dosenku. „Mencari siapa ?“ tanyanya.
“Oh,.. ti …tidak Ibu, saya cuma mencari Susi. Mungkin dia ada di ruang dosen” kataku.
"Dia tidak ada disini“  kata Ibu Pamela menatapku. Mungkin para dosen itu heran dengan tingkah lakuku yang sering mondar-mandir di depan ruangan itu. Untunglah tidak seorangpun dari mereka mengetahui alasan sebenarnya.
"Bagaimana ? Apakah kau sudah bertemu si Pangeran Tampan ?“ tanya Susi, setelah bertemu denganku.
"Tidak“ jawabku dengan lesu. Cuma bertemu Ibu Pamela“.
"Kau cuma buang-buang  waktu saja dengan percuma“ kata Susi.
"Tidak bagiku, Susi“ jawabku dengan bijaksana dan seakan-akan lebih dewasa darinya. „Kau kan belum pernah tahu rasanya jatuh cinta ...“
"Pernah ...“kata Susi. Dengan cowok yang kuliah di Fakultas Hukum itu ...“
"Ah ... itu kan cuma iseng-iseng saja !” kataku.
“Kau yang cuma iseng !” balasnya.
Lalu, sebelum aku sempat berpikir untuk membalas Susi, tiba-tiba Pierre muncul. Ia berjalan di koridor sambil membawa beberapa buku dengan satu tangan dan sebuah cangkir di tangan satunya. Hatiku mulai berdebar-debar dan aku takut kalau jatuh pingsan ketika ia mendekat, tapi aku berusaha menenangkan diri.
Aku menahan napas ketika melihatnya mendorong pintu ruang dosen dengan sikunya dan lalu menghilang begitu saja.
"Kau lihat, kan ? Ia bahkan tidak melirik sedikitpun padamu !“ kata Susi.
Aku berusaha menyembunyikan rasa kecewaku.
"Ya sudah ….Tidak apa-apa...“ kata Susi dengan rasa simpati. Mungkin ia merasa kasihan melihatku. "Kita kan nanti ada kuliah bahasa Perancis. Mungkin kau nanti bisa berbicara sedikit dengannya.”  

Aku menghitung-hitung waktu yang terasa lambat sekali, sampai akhirnya bel berbunyi. Aku segera berlari ke ruang kuliah bahasa Perancis dan duduk disana sebelum semua mahasiswa yang lain datang.
Pierre melihat kearahku dan memberiku senyumannya yang fantastis, senyuman yang bisa menggetarkan urat syarafku.
“Wah, Nadia, kau pasti sudah siap dengan ringkasan Bab 7 yang kuminta bukan ?” tanyanya dalam bahasa Perancis.
“Oh… Oui, Monsieur” jawabku tergagap. Ringkasan ? Aku tidak suka dengan ringkasan. Tak tahukah dia bahwa dialah yang membuatku begitu bersemangat  ?

Tak seperti orang lain, aku tidak menyukai hari Jum’at dan menyukai hari Senin. Akhir pekan menjadi hari-hari yang panjang sejak aku jatuh cinta pada Pierre, karena itu berarti aku tak dapat bertemu dengannya selama 2 hari.
Oleh karenanya, aku berusaha untuk menikmati saat-saat kuliah bahasa Perancis pada hari Jum’at dan memuaskan diriku untuk memandanginya agar aku bisa  mengingatnya selama akhir pekan. Meskipun demikian rasa kehilangan selalu timbul bila bel berdering menandakan kuliah selesai dan Pierre meninggalkan kelas kami.
"Besok mau ikut ke mal tidak ?“ tanya Susi, ketika kami berpisah didepan rumahnya.
"Baiklah,“ kataku, merasa sedikit gembira. Aku ingin membeli sehelai kemeja untuk dipakai kuliah. Kemeja yang sedikit modis, dan berharap agar Pierre akan memperhatikanku.

Aku dan Susi pergi berbelanja di sebuah toko pakaian keesokan harinya. Kami memandangi pakaian yang cantik-cantik modelnya serta berharap suatu hari memiliki cukup uang untuk membeli apa saja yang kami suka. Aku membeli sebuah kemeja dengan model mutakhir. Pada saat kami keluar dari mal itu, Susi mencengkeram lenganku.
"Eh, Nadia, lihat itu !“ katanya menunjuk ke sebuah mobil putih yang diparkir didepan pasar swalayan. Jantungku tiba-tiba berdebar. Itu mobil Pierre !
"Cepat, ayo kita kesana !“ kataku dengan bersemangat. Kemungkinan bertemu dengan  Pierre diluar jam kuliah tampaknya akan menjadi kenyataan. Kami menunggu disamping mobilnya dan tak lama kemudian keluarlah ia dari pasar swalayan itu.
"Bonjour, Nona-nona cantik ! Senang sekali bisa bertemu kalian disini ! Apa kalian sedang menjaga mobilku atau cuma kebetulan saja ?“
Kami berdua memandanginya sekali dan sekali lagi. Aku pertama-tama tidak yakin apakah itu Pierre.
Ia kelihatan berbeda sekali dengan di kampus. Penampilannya yang selalu rapi dan keren itu tak tampak sama sekali. Ia memakai celana baggy bertali dan T shirt yang lusuh. Aku tak percaya bahwa ini Pierre-ku, yang selalu terlihat rapi dan keren.
Ia membuka pintu mobilnya dan memasukkan dus karton yang dibawanya ke tempat duduk belakang. Ia berdiri dekat sekali denganku sehingga aku dapat melihat setiap garis diwajahnya. Tapi tak seperti kalau bertemu dan melihatnya di kampus, kali ini aku merasa kecewa.
"Baiklah, sampai bertemu hari Senin, Au revoir !“ kata Pierre, lalu ia masuk ke mobilnya.
"Ya, Pak Au revoir !“ kata Susi, ketika aku hanya berdiri terdiam.
Aku hanya memandang saat mobilnya yang putih meninggalkan kami, tanpa bisa berkata apapun.
"Oh, Nadia ... aku tak menyangka...“ kata Susi dengan terheran-heran.
"Ia ... ia terlihat ..."
"Kumal sekali“ kata Susi. Rambutnya berantakan, kurasa ia tidak menyisir rambut hari ini. Dan pakaiannya ya ampuun……!”
Aku masih tak percaya dengan apa yang kulihat. Penampilan Pierre berbeda sekali dengan di kampus. Aku terkejut melihat garis-garis di sekitar mata dan mulutnya. Garis-garis ? Bukan .. !! Itu keriput. Pierre terlihat tua, ia sudah tua ! Aku selalu menganggapnya masih berusia 30 an. Tapi sekarang aku harus menghadapi kenyataan bahwa sesungguhnya ia jauh lebih tua dari itu.
Aku telah melihat Pierre yang sesungguhnya, tanpa pakaiannya yang rapi dan penampilannya yang keren seperti di kampus. Aku telah melihat dirinya yang sebenarnya dan tiba-tiba kusadari bahwa aku tidak mencintai Pierre seperti apa adanya. Aku cuma menyukai penampilannya saat di kampus, tapi ....diluar itu tidak.
„Kau tidak benar-benar jatuh cinta padanya, kan ?“ tanya Susi.
“Tidak…Susi” kataku. “Aku ... aku  tidak mencintainya …”



Terjemahan :

Oui                  : Ya

Monsieur         : Bapak/Tuan (sebutan bagi pria dalam bahasa Perancis)

Bonjour           : Selamat pagi / siang

Au revoir         : Sampai jumpa lagi

Monday, December 24, 2007

TAKDIR



Sally percaya pada takdir. Ia percaya bahwa  mereka yang ditakdirkan untuk bersama pasti akan bertemu juga. Meskipun jalan yang ditempuh saling berbeda, tapi takdir  akan mempertemukan mereka. Setelah itu terserah kepada masing-masing orang bagaimana kelanjutannya.

Yang ada dalam pikiran Sally pagi itu, saat ia melangkah ke lift pada hari pertamanya bekerja bukanlah pada takdir atau hal-hal lainnya. Berkali-kali ia melihat jam tangannya, memeriksa penampilannya dan merasakan debar jantungnya. Kemudian ia tertarik juga untuk memperhatikan pria yang berdiri di sampingnya, melirik jam tangannya lagi. Masih pagi. “Ganteng juga cowok ini” pikirnya, tapi kelihatannya ia juga sedang gelisah. Mereka hanya berdua dalam lift itu.

        Sally segera menyadari permasalahan yang dihadapinya.. Kerah bajunya berdiri dan jasnya tersampir di salah satu bahunya. Ia sedang berusaha mengikat dasinya  sambil melihat ke kaca di dinding belakang lift.  Kelihatannya sulit sekali.

Ia melirik sejenak ke arah Sally, lalu tersenyum malu-malu, yang mengingatkan Sally pada senyuman anak kecil yang tertangkap basah makan es krim. Sehingga tanpa sadar, Sally mengatakan sesuatu yang tak pernah dilakukan sebelumnya pada orang yang baru dikenalnya. “Bermasalah dengan dasinya, Mas ?”

Senyum pria itu muncul lagi. “Iya, saya ada rapat sales 10 menit lagi, dan tadi dasi saya terkena kopi di mobil.” Sambil berkata begitu, ia melepas lagi ikatan dasinya dan memulai mengikatnya kembali .
“Saya tidak melihat ada noda kopi disitu,” kata Sally.
“Oh, ini dasi cadangan yang saya ambil dari laci mobil, tapi modelnya sudah ketinggalan jaman”.
Sally menekan tombol lantai 24 dan memperhatikan profil lelaki itu saat pintu lift tertutup.
“Mari, saya bantu,” katanya tiba-tiba. “Saya sudah biasa memasangkan dasi untuk kakak laki-laki saya”.

Tak sampai tiga menit Sally sudah selesai memasangkan dasi padanya, lalu merapikan kerah kemejanya.
“Nah...selesai kan ?” “Sudah cakep” kata Sally
Pria itu tersipu-sipu.
 “Maksud saya dasimu,”kata Sally sambil tersenyum.

Lift memperlambat jalannya, lalu berhenti. Mereka berdua terdiam dan melihat ke atas pintu. Lantai enam.
Pintu terbuka, tapi tak ada seorangpun diluar. Beberapa detik kemudian pintu tertutup lagi.

Lelaki itu mengenakan jasnya.. “Terima kasih atas bantuannya,” katanya.
 “Terima kasih kembali” Sally menatapnya sejenak, lalu memperhatikan nomor-nomor penunjuk lantai di atas pintu.
“Kau bekerja di gedung ini ?“ tanya pria itu.
“Sebetulnya, ini hari pertamaku bekerja, aku sedikit gelisah” Lalu Sally berbalik menatapnya. “Bagaimana denganmu ?”
"Apakah aku gelisah, maksudmu ?”
Sally tersenyum lagi. “Apa kau juga bekerja disini ?”
 “Sudah delapan tahun,” katanya
Itu masuk akal, pikir Sally. Pria itu kelihatannya sebaya dengannya, berusia  tiga puluhan.
“Apa pekerjaanmu ?“
“Aku seorang salesman”. Ia menatap Sally lagi. Sally merasa wajahnya merasa hangat.
 “Apa yang kau jual “?
 “Semua yang diproduksi oleh perusahaan“ jawabnya.

Lift berhenti lagi di lantai dua belas. Sorang wanita setengah baya masuk, kelihatannya cukup repot dengan setumpuk buku dan sebuah pot tanaman. Ia keluar di lantai empat belas.
“Aku bantu ibu ini dulu” kata lelaki itu. Sally menahan pintu lift dengan tangannya saat lelaki itu membantu si Ibu membawa barang-barangnya ke suatu kantor tepat diseberang pintu lift.

Ketika ia kembali, Sally bertanya, “Ia salah seorang pelangganmu ?”
Keduanya tersenyum.
 “Pelanggan siapa saja,” katanya.
Sambil menatap pintu, Sally berkata, “ Kau senang berbicara tentang hal yang umum saja, bukan ?”
 “Rasanya ya. Pembicaraan yang umum.”
Lalu keduanya terdiam beberapa saat.
“Aku juga bisa lebih spesifik, kalau aku mau.“
 “Apa misalnya ?”.
“Tamani CafĂ© di lantai dasar” kata pria itu
 “Maksudmu ?“ tanya Sally
“Maukah kau makan siang denganku ?”
Sally menoleh dan menatap mata pria itu. Tampaknya ia sungguh-sungguh dengan ajakannya. Lelaki itu menahan napas menunggu jawaban. Setelah berpikir beberapa saat, Sally tersenyum lagi. „Baiklah“ katanya.
Pria itu menghembuskan napas lega dan tersenyum lebar.
 “Kita nanti bertemu di sana ?” tanya Sally
“Aku akan mampir ke kantormu. Kau dimana – maksudku, kau bekerja di perusahaan apa ?
 “Lantai 24. Bagian Keuangan”
Ia terkejut. “Kau bekerja di Wijaya Enterprise ?”
 “Bagaimana kau bisa tahu ?”
 “Kami menempati 3 lantai teratas”
Mata Sally melebar. “Hah.., kau bekerja disana juga ?“
 “Jangan terkejut begitu dong”
 “Oh, tidak …”katanya cepat. “Hanya saja …kok bisa kebetulan ya?”
Pria itu menunggu.
“Aku berpikir jangan-jangan perusahaan membatasi …. Yah, kau mengerti tentunya ...“
 “Kencan antar karyawan, maksudmu ?” tanyanya
Wajah Sally memerah sedikit.
“Kau sudah memasangkan dasiku, “ katanya, “dan aku mengajakmu makan siang. Kita tidak terikat apapun bukan ?“
 “Ya, benar, jawab Sally.

Sally memandang pria itu dan mata mereka saling menatap. Kalau ini kejadian dalam film, pikirnya, pasti suara musik akan terdengar. Eng...ing...eng.....
Ini gila, aku sudah gila ..., pikir Sally
Ia menarik napas dalam-dalam dan berkonsentrasi menatap pada nomor-nomor lantai. Ia berpendapat lelaki itu pasti menuju lantai 25, tinggal satu lantai lagi.
 “Jam berapa ?” tanya pria itu
Sally mengerti, yang dimaksudnya pasti makan siang. “Aku belum tahu pasti. Aku harus menemui seseorang jam 11 di lantai 26
 “Dengan para pimpinan ?”
“Aku rasa ya. Perkenalan, kata mereka“
Pria itu mengangguk. Memang itu prosedur standar, biasa ....hari pertama”
 “Lantai 26, “ ulang Sally pada dirinya sendiri. “Kedengarannya formil sekali”
 “Ya, begitulah”
“Apa kau sering berada di kantor ? Sebagai seorang salesman ?“
 “Sesedikit mungkin”

Sally terdiam, berpikir. “Mereka orang-orang yang ramah, bukan ?”
 “Mereka orang yang baik, sebenarnya semua karyawan disini begitu.”
“Hmm..., apa kau bukan seorang pengacara ?” tanya Sally .
 “Pastinya bukan.” Pria itu memandangnya lagi, matanya berbinar. “Jam 11.45” katanya
 “Apanya ?”
“Aku bicara spesifik ya. Aku jemput kau jam 11.45”
Lift berhenti. Lantai 24
 “Bagaimana jika mereka belum selesai berbicara denganku ?” tanya Sally ketika pintu terbuka
“Katakan bahwa mereka harus menyelesaikannya”
Sally tersenyum. “ Tahu tidak, kau ini sedikit gila?“
Wajahnya berubah serius untuk beberapa saat.
 “Ya, sejak kau sudah menyelamatkanku” kata lelaki itu

Mereka berdiri disana beberapa saat lamanya, saling memandang satu sama lain.
Sally menelan ludah. “Aku Sally,” katanya perlahan
 “Aku Tom”
Pintu mulai tertutup. Sally menahannya dengan tangan. “Bagian Keuangan” katanya, sambil mundur.
 “Aku akan mengingatnya”
Lalu pintu lif tertutup

Tiga jam kemudian, Sally mengetahu bahwa Wijaya Enterprise mempunyai 62 karyawan, 20 orang di bagian Marketing, dilantai 25. Dan hanya 1 orang karyawan yang bernama Tom.
 “Tommy Sumarno,” seorang wanita muda bernama Debby memberitahunya, saat mereka duduk bersama waktu istirahat sambil meminum secangkir kopi. 
” Orangnya baik kok”.
“Cuma baik ? “ tanya Sally dengan rasa ingin tahu.
 “Jangan kuatir, dia bukan tipe cowok yang iseng. Cuma saja ia cowok yang penampilannya terlalu biasa …”
Debby tidak memberi keterangan lebih lanjut, sehingga membuat Sally masih penasaran. Ia terus memikirkannya sepanjang pagi itu.

Saat ia menuju lift ke lantai 26 pada jam 10:55, ia memutuskan bahwa Debby mengatakan yang salah. Sally sesungguhnya tidak tahu apa-apa mengenai Tom. Ia berpikir, ia sedang menjalani takdirnya, dengan atau  tanpa iringan musik.

Seorang wanita yang berpenampilan modis menemuinya diluar ruangan CEO di lantai 26.
“Namaku Mery,” katanya. Asisten Bapak Wijaya
Sally mengikutinya masuk ke sebuah pintu menuju sebuah ruangan yang besar . Dindingnya dari lantai ke langit-langit melukiskan pemandangan alam pegunungan. Pimpinan perusahaan ini berdiri dari tempat duduknya pada saat mereka masuk.
 Ini Sally Amirta,” kata Mery. “Perkenalkan ini BapakThomas Wijaya
 Sally menundukkan wajahnya ketika Mery meninggalkan ruangan.
 “Tom “? bisiknya
“Aku mendapat tiga kali pujian mengenai dasiku ini” kata Tom tertawa lebar. Bagaimana denganmu, sudah bisa memperbaiki masalah keuangan dikantor ini?“
Sally mulai tersenyum. “Aku pikir Divisi Marketing ada di lantai 25,” katanya
“Benar. Aku bertemu dengan mereka, tadi pagi ini “
“Tadi kau bilang, kau seorang salesman”

Ia tersenyum. “Setiap orang disini adalah salesman, Sally” Ia berjalan mengitari mejanya dan menggenggam tangan Sally.
Sally menelan ludah. “ Kau percaya dengan takdir, Bapak Thomas Wijaya ?”
“Aku lebih percaya dengan makan siang” katanya
Pada saat mereka pergi makan siang bersama, Sally menyadari bahwa rasa gelisahnya sudah hilang.